Membaca statusnya mb Fadila Hanum (penulis buku anak) beberapa waktu lalu, mengenai admin Kemdikbud yang mempertanyakan film apa yang bisa dipertontonkan untuk anak-anak kita (baca : Indonesia) sebagai pengganti film Dilan dalam acara nonton bareng hardiknas ... mendadak menyadarkan kita bahwa di negeri ini minim sekali tontonan yang ramah anak (dari usia dini hingga remaja).
Peristiwa 'nonton bareng dalam rangka hardiknas’ yang digagas Kemdikbud ini memunculkan rentetan aksi dan reaksi yang berbeda, seperti biasanya. Ada yang merasa ini biasa saja, ada yang begitu terusik hingga melayangkan teguran secara langsung melalui komentar maupun secara sembunyi-sembunyi, tak sedikit pula yang tidak peduli.
Pernyataan Admin Kemdikbud |
Alhamdulillah … pada akhirnya, suara orang-orang yang peduli masih didengarkan oleh pemegang kebijakan. Film yang dimaksud sudah digantikan. Meski tetap meninggalkan rasa kurang puas di dalam hati.
Gambaran saya pribadi, sebagai pengganti akan muncul film motivasi macam Laskar Pelangi, Sokola Rimba, Denias Senandung di Atas Awan, Sang Pemimpi, Negeri 5 Menara, atau film-film pendidikan lainnya. Ah … mungkin film-film itu dianggap sudah terlalu lama, meski sebenarnya untuk sebuah pembelajaran, tak ada kisah, baik dalam bentuk buku maupun tontonan yang menjadi usang hanya karena perkembangan zaman.
Sayangnya, untuk kedua film pengganti ini saya belum pernah menontonnya, sehingga belum bisa mengapresiasi sepenuhnya. 🙏
Pertanyaan penting yang muncul dari rentetan peristiwa ini adalah … “Siapa kita bagi anak-anak, dan apa peran kita bagi mereka?”
“Apakah dengan memenuhi kebutuhan raganya saja lantas tertunaikan tugas kita sebagai orang tua?” "Bagaimana dengan jiwanya, perkembangan karakternya?"
Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang cukup dijawab dengan sepatah dua patah kata, tetapi layak menjadi bahan renungan bersama.
Hal ini sekaligus menegaskan bahwa, film -film pendidikan di Indonesia gaungnya kurang begitu menggema, dibandingkan dengan film-film dengan cerita sederhana, tentang percintaan yang dibumbui dengan gambar-gambar menggiurkan.
Tontonan-tontonan yang ada selalu dibumbui unsur 'dewasa' yang sangat tidak layak ditonton oleh anak-anak dan juga remaja, tetapi nyatanya beredar luas dan bebas.
Sedih memang, karena para sineas Indonesia lebih tertarik menghasilkan karya yang diminati dibandingkan membuat karya yang isinya mampu mengilhami para pecinta film/ tontonan untuk berbuat kebaikan. Berbanding lurus dengan selera masyarakat kita yang biasa saja, jika tak ingin dibilang rendahan.
Sudah menjadi rahasia umum jika sinetron dan film yang laris di negeri kita isinya selalu seperti itu. Kisah yang diulang-ulang, bertele-tele, menggunakan bahasa yang jauh dari kesantunan, mengumbar gambaran dunia pendidikan sebatas pada bully-an para pelajar, aktivitas remaja yang eksis dalam pergaulan bebas, geng motor, dan kehidupan yang serba glamour.
Belum lagi menyoal penggunaan pakaian anak-anak sekolah yang tidak seharusnya, melawan guru menjadi tontonan yang sudah biasa, dan bumbu-bumbu negatif lainnya yang menjadi sorotan utama, tetapi tetap saja mayoritas masyarakat Indonesia menikmati semua itu.
Bahkan tak sedikit yang menjadikannya sebagai tontonan bersama dengan sang buah hati. Lalu, ketika anak mulai bertingkah, dengan serta merta kita berteriak. Mulai dari memarahi mereka, hingga menyalahkan pihak lain yang dianggap tak becus mendidiknya, seperti sekolah dan guru misalnya.
Tiap kali ada peristiwa besar berkaitan dengan 'kenakalan remaja’, kita ikut marah dan merutuki. Namun, tak perlu waktu lama akan kembali menikmati tontonan-tontonan yang jelas-jelas mencotohkan tindakan-tindakan negatif itu. Hanya sebagai hiburan menjadi kata pamungkas ketika ada yang mengingatkan.
Mereka sadar jika tontonan-tontonan itu menyakitkan bagi jiwa anak-anak, tetapi dengan sukarela justru duduk dengan damai di sisi mereka, tertawa dan ikut geregetan bersama, menjiwai peran tiap tokohnya.
Begitulah ... karena sudah terbiasa lama-lama jadi penikmat setia dan mengulang kejadian yang sama.
Alih-alih memusingkan diri dengan dunia perfilman Indonesia ini, kita bisa mulai perubahan dari keluarga kita sendiri. Dengan hanya memilih tontonan berkualitas dimulai dari diri sendiri, dan menjadi warisan pada anak hingga cucu nanti. Karena berani memilih jalan yang berbeda tak lantas menjadikan kita hina.
Martini bagus. Sudah nonton filmnya. Kalau Yo Wis Ben hmmm.. lihat trailernya kurang meyakinkan sih, tapi belum tahu juga kalau nggak ditonton ya. Hehe. Sebenarnya banyak kok film2 Indonesia yang berkualitas, tapi yang jenis Kaya gini biasanya sepi penonton, hehe.
BalasHapusKartini kok martini sih, hihi.. efek hp minta dilem kuning.
HapusTerima kasih sudah mampir Mbakku sayang. Iya benar, film-film pendidikan dan sejarah sepi penonton kalau di Indonesia. hiksss ...
Hapus