Muhammad Teladanku Jilid 1 |
Sebenarnya hari ini mau menulis tentang aktivitas Kiya seruan-seruan memanfaatkan lakban sebagai bahan permainan.
Namun, setelah membacakan buku MuTe sebagai pengantar tidur Kiya malam ini, kok mendadak teringat beberapa malam yang telah lalu. Tentang rasa haru yang sampai detik ini masih membekas di kalbu.
Saya pernah mendengar tapi entah dari siapa asalnya, saya lupa. Kurang lebih begini, “Ketika engkau menulis dengan hati, maka apa yang kau kabarkan melalui tulisan akan sampai ke hati pembaca juga.”
Seperti itu pula kiranya sang penulis buku MuTe ini dalam menghasilkan tulisannya.
Singkat cerita, buku yang telah lama ditunggu sudah menjadi penghuni baru di rak buku kayu. Sudah menjadi kebiasaan Kiya, setiap kali ada paketan buku langsung minta dibuka dan dibaca. Jadilah, pengantar tidurnya malam itu membaca buku Muhamad Teladanku jilid pertama, tentang kelahiran Nabi Muhammad tercinta.
Lembar demi lembar lancar terbacakan, sambil sesekali merenungi kok baru sekarang tahu tentang sejarah ini.
Mendadak, suara saya tercekat pada cerita kedelapan, “Penyembelihan Ismail”. Sudah sering bagi saya mendengar cerita tentang penyembelihan nabi Ismail, lebih-lebih pada saat menjelang idul adha, tapi entah kenapa baru kali ini terasa ruhnya. Mungkin terlalu kokoh dinding hati ini sehingga sulit terketuk selama ini. đŸ˜¢
“Ibu kenapa? Kok nangis?”, tanya Kiya seketika saat saya menghentikan cerita pada dialog Ismail dan ayahnya.
“Ayah, jangan ragu, lakukanlah perintah Allah swt ini. Kalau Ayah akan menyembelihku, ikatlah aku kuat-kuat agar Ayah tidak terkena darahku. Aku takut darahku mengotori bajumu sehingga pahalaku berkurang.”
“Ayah, jangan ragu jika melihat aku gelisah. Karena itu, tajamkanlah parang Ayah agar dapat memotongku sekaligus. Telungkupkan wajahku, Ayah, jangan dimiringkan. Aku khawatir Ayah bisa melihat wajahku dan merasa iba sehingga Ayah jadi ragu melaksanakan perintah Allah. Kalau Ayah merasa bajuku dapat menghibur ibu, berikanlah baju ini kepada ibu.”
MasyaAllah, bagaimana bisa hati ini tidak terenyuh dan terbawa suasana melihat dan membaca ketabahan seorang anak yang masih muda belia rela melakukan sesuatu karena hanya mengharap ridho Allah semata.
Rasanya merasa tertampar, membawa ingatan pada diri ini yang belum bisa meneladani, lebih-lebih mengingat kondisi remaja dan para pemuda negeri ini yang banyak kehilangan jati diri.
Sambil memeluk Kiya, kami pun berbagi cerita tentang alasan mengapa ibu menangis, dan harapan Kiya pada masa depannya. Semoga melalui ikhtiar buku ini, ibu dapat menghadirkan sosok-sosok teladan yang akan menuntunmu menjadi insan yang mulia di sisi Allah swt sayang. đŸ˜‡
#coretantinta - Nining Ibu Kiya -
___
___
Posting Komentar
Posting Komentar