Komprod Day 11 |
Siang begitu terik, panas sang mentari mulai menggigit kulit. Dalam sekejap, rasa gerah masuk melalui sela-sela jari, melewati tangan, bahu, dan menjalar ke seluruh tubuh. Kunyalakan kipas angin meski hawa panas tak sepenuhnya pergi dari kamar mungil ini.
Sambil melipat baju, yang kering lebih awal dari biasanya, lamunanku asyik berkelana. Mencoba menangkap ide yang berkelebatan tak jelas wujudnya.
“Ibuk, Kiya mau jajan.” suara Kiya yang tiba-tiba muncul di balik pintu membuyarkan lamunan.
“Jajan? Ndak sayang, Kiya sudah jajan berapa kali hari ini, sudah banyak ya, Yah.” jawabku tegas.
Sementara sang ayah mengangguk tanda setuju.
“Kiya mau jajan lagi.” jawabnya sambil memasang wajah cemberut. Ia menggaruk paha kanannya dengan keras.
“Itu kenapa kakinya kok digaruk?” tanya sang ayah melihat kakinya yang mulai memerah.
Kiya bergeming. Wajahnya kian murung, tanpa kejelasan. Sekilas aku bisa merasakan, ada gelagat yang mencurigakan. Barangkali baru saja terjadi sesuatu saat ia bermain dengan teman-temannya tadi. Ah, harusnya aku tidak langsung melarangnya.
Kusingkirkan baju dari pangkuan, serta merta
sang senyuman, dan kubuka kedua tangan lebar-lebar, sebagai pertanda ingin memberinya pelukan. Serta merta dia pun melangkah, dan nglambruk dalam dekapan.
sang senyuman, dan kubuka kedua tangan lebar-lebar, sebagai pertanda ingin memberinya pelukan. Serta merta dia pun melangkah, dan nglambruk dalam dekapan.
“Kiya kenapa sayang?”
“Kiya pengen jajan.”
“Kan tadi sudah jajan banyak. Apa masih kurang?”
Dia mengangguk.
“Tadi Kiya lagi main, kok tiba-tiba pulang minta jajan. Teman-teman Kiya pada jajan?”
“Nggak.”
“Kiya disuruh beli jajan?” tanyaku bukan tanpa alasan. Karena sudah beberapa kali kupergoki temannya yang dengan sengaja menyuruh Kiya minta uang jajan untuk dimakan bersama-sama
“Nggak ...” jawabnya mulai melembut.
“Kiya inget kan, kalau Kiya tidak jujur sama Ibu, Ibu mungkin tidak tahu … tapi Allah Yang Maha Melihat tahu, dan pasti sedih.” ucapku sambil mengelus lembut kepalanya.
Kulihat butiran kristal mengalir dari bola matanya yang indah.
“Kenapa menangis? Kiya sedih?” tanyaku lagi.
Ia masih sesenggukan, tak memberikan jawaban.
“Kiya sedih kenapa sayang? Kalau Kiya tidak cerita ke Ibu, ya Ibu nggak akan tahu.” ucapku sambil mengecup rambut ikalnya.
“Kiya … Kiya pengen dibeliin sebulan balon.” jawabnya terbata-bata karena sesenggukan.
“Lho, di kamar mandi kan Kiya masih punya.”
“Sudah diminta Mbak Sasa semua. Hiks … hiks …”
“Lha punya Mbak Sasa?”
“Punya Mbak habis, punya Kiya diminta semua … hiks …”
Akhirnya Ibu pun mengerti titik permasalahannya. Setelah ibu tenangkan, dan berikan nasihat sederhana untuk lebih menjaga mainannya sendiri dia pun mengerti dan mau tertway lagi.
Bahasa anak itu benar-benar unik, terkadang apa yang disampaikan belum tentu sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Oleh karena itu, sebagai orang tua kita harus bisa memahaminya, dan menggunakan cara yang tepat agar pesannya tersampaikan dan terselesaikan dengan baik. Sehingga ia merasa dihargai, serta dimengerti.
Pada awal komunikasi Kiya sempat menunjukkan gelagat amarah, karena Ibu langsung memberikan larangan tanpa mencari tahu duduk permasalahan. Namun, setelah ibu merubah strategi, melakukan observasi dengan intonasi dan nada suara yang ramah, ia pun luluh dan mau menceritakan semua yang dirasakan tanpa paksaan.
Alhamdulillah, dengan belajar dan menerapkan komunikasi produktif, rasanya lebih mudah bagi kami untuk berkomunikasi, tanpa menimbulkan rasa kesal dan kecewa yang berakibat pada tantrum tidak semestinya. Semoga Ibu senantiasa bisa menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan bagimu, buah hatiku. đŸ˜˜đŸ˜‡
___
#hari11
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
#institutibuprofesional
#komprod
#komproddengananak
#bunsayjateng4
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#DAY12 #onedayonepost
Posting Komentar
Posting Komentar