Oleh Nining Purwanti
Cita-cita |
“Dek, kalau sudah besar nanti kamu mau jadi apa?”
“Apa cita-citamu, Nak?”
Dua pertanyaan yang sangat femiliar bagi kita. Pada usia belia atau anak-anak lebih tepatnya, entah berapa kali kita akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Tak terhitung pastinya, karena tak hanya orang terdekat, orang asing yang baru ketemu pun bisa dengan leluasa bertanya soal cita-cita.
Halohaaa … Bagaimana kabarnya hari ini. Siapa yang dulu masa kecilnya juga sering ditanya mengenai cita-cita? Bukan tidak mungkin, sekarang, setelah jadi emak-emak ataupun orang tua kita juga sering menanyakan hal yang sama pada anak-anak kan Mak? 😂😂😂
Berbicara tentang cita-cita, dulu zaman masih unyu-unyu cita-citaku termasuk langka dibanding anak yang lainnya. Di saat yang lain memberikan jawaban 'dokter’, 'polisi’, 'tentara’ sebagai pilihan pekerjaan yang menjanjikan di masa depan, aku memilih profesi 'guru’ sebagai impian terbesar.
Di saat anak-anak lain asyik bermain masak-masakan, tembak-tembakan, aku lebih nyaman bermain peran sedang mengajar. Jangan heran, saat usia Sekolah Dasar sampai merengek untuk dibelikan sepatu high heels, blazer, papan tulis lengkap dengan kapur dan penghapus, serta tongkat dari besi supaya benar-benar menjiwai peran sebagai guru zaman itu. 😂😂😂
Herannya, cita-cita itu tak berlangsung lama. Ya, maklumlah usia kanak-kanak memang masanya coba-coba. Segala yang dilihat ingin bisa dimiliki dan dijalani. Memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama hingga pertengahan SMA, berubah haluan ingin menjadi seorang penulis. Nyeleneh lagi kan?
Entah bagaimana dulu caraku belajar dan mengejar impian, tak lagi ingat sepenuhnya. Aku hanya menjalani hari-hari seperti anak remaja pada umumnya. Menulis curahan hati, membuat puisi menjadi bagian dari kehidupanku yang berjalan tanpa rencana. Mengalir apa adanya, tanpa beban dan paksaan. Meski tulisanku ya biasa-biasa saja, toh nyatanya tak berani menembus media.
Sesekali keinginan untuk mengirimkan karya ke media massa itu datang, tetapi rasa tak percaya diri lebih mendominasi. Pada akhirnya, semua hanya berakhir menjadi coretan-coretan dalam diary, untuk kunikmati sendiri.
Menjelang kelulusan, karena kurangnya pengetahuan, aku mengikuti tes masuk universitas jalur prestasi (PMDK), memilih jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Padahal, jika melihat renjanaku di dunia kepenulisan lebih tepat mengambil jurusan sastra.
Manusia boleh berencana, tetapi keputusan terbaik di tangan Allah semata. Bukan sebuah kebetulan jika pada akhirnya aku benar-benar menjadi sarjana pendidikan, dan mengabdikan diri mengajar di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Dengan cara-Nya Allah mengabulkan mimpiku saat SD dulu untuk menjadi guru.
Setelah kurang lebih lima tahun mengabdi dengan usaha terbaik yang kumiliki saat itu, pada akhirnya harus menyerah dan memilih jabatan sebagai guru bagi anak di rumah. Bukan karena keadaan ataupun paksaan, tetapi keinginan itu datang dengan sendirinya, tanpa mampu menjelaskan darimana dan bagaimana munculnya.
Lagi-lagi, kuasa Allah yang bekerja. Diluar dugaan, mimpi menjadi penulis itu terpampang nyata. Jalan menuju ke sana terbuka dengan sendirinya. Pelan tapi pasti, satu persatu hasil coretanku mulai terabadikan dalam buku.
___
#wanita&pena
#10dayschallenge
#RumbelLiterasiMedia
#10dayschallenge
#RumbelLiterasiMedia
#Day03
#komunitasonedayonepost
#odopbatch6
Posting Komentar
Posting Komentar