Oleh Nining Purwanti
Sumber foto : @s.kakung |
Gus Mus. Siapa yang tak kenal dengan sosok kiai karismatik dengan ribuan follower yang selalu dinantikan petuah-petuahnya ini? Namanya kian banyak dicari setelah menerima penghargaan dari Yap Thiam Hien tahun 2017. Kiai pengasuh pondok pesantren Raudlatut Tholibin, Leteh, Rembang ini, dinilai memiliki perhatian yang besar terhadap perjuangan dan tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia.
Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering disapa Gus Mus, lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada tanggal 10 Agustus 1944.
Gus Mus kecil dibesarkan dalam keluarga yang patriotis, intelek, progresif dan penuh kasih sayang. Kakeknya, H. Zaenal Mustofa adalah seorang saudagar ternama yang dikenal tekun dalam beragama dan sangat menyayangi ulama.
Sebagaimana kakeknya, ayah Gus Mus, KH. Bisri Mustofa juga sangat memperhatikan pendidikan anak-anak, lebih dari sekadar pendidikan formal. Meskipun otoriter dalam prinsip, tetapi selalu mendorong anaknya untuk berkembang sesuai dengan minatnya.
Ayah Gus Mus merupakan penulis Tafsir al-ibris yang masyhur, di zamannya termasuk ulama 'nyeleneh' Karena bekerja sebagai penulis. Ia dikenal karena kemampuannya mengubah kitab-kitab klasik Arab menjadi bacaan indah sekaligus mudah dipahami.
Ulama Nyentrik dengan Karya Unik
Produktivitas menulis ayahnya menurun dalam jiwa Gus Mus. Gus Mus bersama kakaknya, KH M. Cholil Bisri, sejak muda memiliki kebiasaan menulis sajak. Tulisannya sejak remaja sudah banyak dimuat berbagai media massa. Pentas baca puisinya yang pertama (pada tahun 1980-an) telah menuai banyak pujian sehingga dikukuhkan sebagai “bintang baru” di dunia penyair Indonesia.
Produktivitas menulis ayahnya menurun dalam jiwa Gus Mus. Gus Mus bersama kakaknya, KH M. Cholil Bisri, sejak muda memiliki kebiasaan menulis sajak. Tulisannya sejak remaja sudah banyak dimuat berbagai media massa. Pentas baca puisinya yang pertama (pada tahun 1980-an) telah menuai banyak pujian sehingga dikukuhkan sebagai “bintang baru” di dunia penyair Indonesia.
Membaca sajak saat berdakwah, bukan hal baru di kalangan pesantren. Namun, baru Gus Muslah yang berani tampil beda. Pada tahun 1997 ia mulai memunculkan sajak-sajak mbeling atau 'puisi balsem'.
Sajak-sajak Gus Mus menjadi sarana bagi Gus Mus untuk mengomunikasikan berbagai fungsi yang sesuai dengan para santri / audiens-nya. Dengan bangkitnya keingintahuan para santri dan audiens, terbukalah dialog, sehingga melahirkan jiwa-jiwa yang kritis, terbuka, berani, sadar akan diri sendiri, dan mampu berbuat manfaat bagi keluarga, agama, lingkungan, dan negara.
Kala itu, beliau menjadi satu-satunya penyair Indonesia yang menguasai sastra Arab. Karena dedikasinya dibidang sastra, Gus Mus banyak menerima undangan dari berbagai negara. Sebagai cerpenis, Gus Mus menerima penghargaan “Anugerah Sastra Asia” dari Majelis Sastra (Mastera, Malaysia, 2005). Kini sajak dan karya-karyanya pun telah tersebar di berbagai media, dan dibukukan.
Tokoh Bangsa yang Tidak Haus Kekuasaan
Gus Mus merupakan alumni dari Universitas Al Azhar Kairo (Mesir, 1964-1970) dan penerima beasiswa untuk studi islam dan bahasa arab. Sebelumnya, ia menempuh pendidikan di SR selama 6 tahun (Rembang, 1950-1956), Pesantren Lirboyo (Kediri, 1956-1958), Pesantren Krapyak (Yogyakarta, 1958-1962), Pesantren Taman Pelajar Islam (Rembang, 1962-1964).
Gus Mus adalah orang yang disiplin dalam berorganisasi. Sewaktu kuliah di Al Azhar Kairo, bersama KH Syukri Zarkasi (sekarang Pengasuh Ponpes Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur), Gus Mus menjadi pengurus HIPPI (Himpunan Pemuda dan Pelajar Indonesia) Divisi Olah Raga. Di HIPPI pula Gus Mus sudah menyediakan majalah organisasi (HIPPI) hanya dengan KH. Abdurrahaman Wahid (Gus Dur).
Tidak berbeda dengan para kiai lain yang memberikan waktu dan perhatiannya untuk NU (Nahdlatul Ulama), sepulang dari Kairo Gus Mus berkiprah di PCNU Rembang. Kiprahnya melejit dari tingkat paling rendah hingga beberapa kali dicalonkan menjadi ketua umum PB NU. Namun, belum sekalipun ia terima tawaran itu.
Tidak berbeda dengan para kiai lain yang memberikan waktu dan perhatiannya untuk NU (Nahdlatul Ulama), sepulang dari Kairo Gus Mus berkiprah di PCNU Rembang. Kiprahnya melejit dari tingkat paling rendah hingga beberapa kali dicalonkan menjadi ketua umum PB NU. Namun, belum sekalipun ia terima tawaran itu.
Berdisiplin dalam rasa tanggung jawab, juga membuat Gus Mus bergeming terhadap godaan kursi empuk kekuasaan di dunia politik. Berbagai jabatan penting tak luput dari penolakannya, karena Gus Mus merasa bahwa apa yang diterima (gaji, penghargaan, dsb.) tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya.
Gus Mus juga sangat arif dalam membawa kelompok atau kepentingan dirinya sendiri. Beliau tidak bernafsu 'mengolah' para pendukung, simpatisan dan santrinya menjadi alat perjuangan politk demi kekuasaan. Dalam dunia politik, pemihakan Gus Mus selalu jelas dan konsisten: yakni kepada rakyat yang selalu terpinggirkan.
Saat ini, Gus Mus menjadi Mustasyar (Dewan Penasihat) dalam kepengurusan PBNU masa khidmat 2015-2020. Dalam sejarahnya, Gus Mus merupakan salah satu pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa, sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga kini.
Presiden Joko Widodo atas nama negara memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada dedikasi Gus Mus pada tanggal 13 Agustus 2015.
Kiai Teladan Kesayangan Ulama dan Umat
Tahun 1971 Gus Mus menikah dengan Hj. Siti Fatimah dan dikaruniai 7 anak, terdiri dari 6 putri, dan 1 putra bernama M. Bisri Mustofa. Kehidupannya semakin berwarna dengan kehadiran 13 cucu dalam keluarga besarnya. Keluarga Gus Mus dikenal harmonis dan saling menghormati.
Kini, Gus Mus mengisi hari-harinya dengan memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah itu sudah berdiri sejak tahun 1941.
Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok.
Masih jelas dalam ingatan saya ketika beberapa tahun silam mengantarkan anak didik silaturahmi ke kediaman beliau. Dengan ramah dan suasana kekeluargaan beliau menerima tamu di ruang aula yang sering dijadikan sebagai tempat mengajar para santrinya.
Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, Gus Mus juga dikenal sebagai penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim. Beliau telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama.
Saat kondisi politik di Indonesia kian panas dan memprihatinkan, Gus Mus hadir dengan berbagai cuitan yang menyejukkan. Meski memliki potensi untuk menggiring opini, dan menggerakkan umat, tetapi beliau tak pernah dengan sengaja menghasilkan tulisan yang menimbulkan perpecahan.
Berkali-kali disakiti, dicaci, dan dicatut namanya, tetapi tak sekalipun beliau membalasnya. Setiap ucapan, tindakan, dan tulisannya senantiasa menentramkan, dan memberi pencerahan. Sosok yang bersahaja, tidak ambisius, mengayomi sehingga sangat disayangi oleh ulama dan menjadi panutan bagi umat, serta masyarakat luas.
***
Sumber bacaan :
Kotakomid. 2016. Biografi Mustafa Bisri (Gus Mus). Diunduh dari laman www.tulisantokohdunia.blogspot.com
___
#TantanganODOP5 #onedayonepost #odopbatch6 #nonfiksi #biografi #GusMus
Posting Komentar
Posting Komentar