Melepasmu |
Aku terdiam di sudut kursi tunggu. Menatap nanar setiap orang yang berlalu lalang. Deretan kursi besi warna silver itu sudah penuh dengan calon penumpang. Lorong-lorong pun semakin sesak dengan tumpukan barang bawaan.
Gelak tawa segerombolan remaja, teriakan ibu yang memanggil anaknya, dan mereka yang sedang asyik berbincang saling bersahut-sahutan. Bising, membuatku pusing.
Kuambil gawai dari dalam tas. Suara lembut Gummy mengalun melalui headset yang kupasang dengan rapat. Merdu, dan menenangkan, membawa ingatanku melayang pada kejadian semalam.
“Yang, nggak kerasa ya. Sudah setahun berlalu.” Kusandarkan kepala di pundakmu. “Sampai kapan kita akan seperti ini?” tanyaku sendu.
“Seperti ini bagaimana maksudmu?” Entah, engkau benar-benar tidak paham dengan pembicaraanku, atau hanya berpura-pura menggoda.
“Cieee, marah ….” Tawamu tergelak sambil terus menggodaku. Kulirik tingkah kekanak-kanakan yang sering membuatku kesal. Ah, engkau selalu seperti itu. Setiap kali menatap dan mendengar tawa renyah dari bibirmu, amarahku seketika menguap.
Mata yang terpejam, dan cekungan kecil yang terbentuk di kedua pipi membuat wajahmu tampak menggemaskan. Wajah itu, wajah yang menentramkan. Andai kau tahu betapa lelahnya kulalui hari tanpamu. Terseok-seok aku menahan rindu setiap waktu. Arrgghhh … lelaki memang tidak peka. Aku beranjak dari kursi. Rasanya percuma untuk berbicara denganmu malam ini.
Belum sempurna aku berdiri, sebuah tarikan menyeret tanganku dengan tiba-tiba. Membuatku tersungkur dalam pelukanmu. Semakin kucoba untuk bangkit, pelukanmu semakin erat, pada akhirnya membuatku pasrah. Eau de parfum dengan aroma cedarwood menyeruak dari dada bidangmu. Hangat dan menenangkan.
“Sayang, kau tahu … apa yang mengusik hatimu, itu jugalah yang sedang merisaukan jiwaku. Hidup berjauhan darimu itu menyiksa. Kulalui hari dalam sepi. Tak kudapati senyum manismu tatkala aku pulang bekerja. Semu keperluan harus dipersiapkan sendiri. Tak ada tempat berbagi canda tawa, dan sandaran saat lelah melanda,” ucapnya sambil mengelus lembut punggungku.
“Rindu itu bukan monopoli wanita saja. Hanya karena aku tak mengucapkannya, lantas kau anggap aku tak punya rasa yang sama?” Aku bergeming. “Lelaki itu lemah dalam berkata-kata bukan karena ia tidak peka. Aku lebih memilih mengatasi rindu ini dengan caraku sendiri. Omong kosong, kalaupun berulangkali kuungkap rindu, tapi belum bisa memenuhi permintaanmu. Itu hanya akan melukai.”
Perlahan dilepasnya pelukan. Aku kembali duduk tegak. Masih dalam diam, tak tahu harus berkata apa.
“Bukankah kamu selalu bilang, bahwa semua akan indah pada waktunya? Ke mana perginya semangat itu?” tanyanya sambil tersenyum.
***
“Sayang, melamun?” Pukulan lembut di pundak membuyarkan lamunanku. Pria itu, lelaki yang telah menjadi pelengkap hidupku sudah berdiri gagah di hadapanku. Kuterima minuman dingin dari tangannya. Kuambil tas punggung dari sebelah, dan membiarkannya duduk dengan nyaman.
Belum lama kami berbincang, terdengar pemberitahuan dari pengeras suara. Meminta penumpang untuk segera masuk, karena kereta sudah datang, dan akan diberangkatkan dalam waktu 10 menit lagi.
“Sayang, bersabarlah. Tunggu sebentar lagi. Aku sedang mengusahakan kepindahan. Sepertimu yang begitu ingin menjalani hidup bersama. Aku pun ingin menghirup udara yang sama, setiap saat, setiap waktu tanpa ada jarak yang memisahkan. Hanya denganmu, di kota ini.” Hatiku berdesir, perih.
Perlahan gengaman tangannya merenggang, dengan langkah tegap ia berjalan menjauh. Semakin jauh dari pandanganku yang mulai berkabut. Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan. Tak ada lagi kata terucap, hingga punggungnya menghilang dari pandangan.
galau.... fix, rindu itu berat
BalasHapusBiar Dilan aja ya Kak. đŸ˜‚đŸ˜‚đŸ˜‚
Hapus