Gambar : shutterstock.com |
“Ibu … Ibu sedang apa?” tanyanya sore itu.
“Menjahit, Sayang.”
.
“Owh, Ibu bisa menjahit to?” Matanya masih tertuju pada tanganku.
“Bisa, menjahit ala kadarnya.”
.
“Memangnya kalau cewek harus bisa jahit, Bu? Berarti besok kalau sudah besar aku juga harus bisa jahit?” Ditatapnya mataku dengan saksama.
Aku tersenyum. Sejenak membalas tatapan matanya yang menawan, kemudian melanjutkan jahitan yang tinggal beberapa bagian.
“Iya, Sayang. Paling tidak bisa tusuk jelujur, atau sekadar memasang benang, menggerakkan jarum. Karena kita tak pernah tahu, keadaan mendesak yang tiba-tiba datang menyapamu.” Aku terdiam sejenak.
“Seperti kasur ini, setelah kelelahan menopang berat tubuh kita bertahun-tahun, mendadak jahitannya lepas. isinya pun berhamburan ke mana-mana. Memang bisa saja kita panggil tukang jahit untuk memperbaikinya, atau kalau cukup uang kita beli kasur yang baru. Namun, selama masih bisa ditangani sendiri, menyimpan uang untuk hal yang lebih penting tentu lebih berarti.”
.
Ah, Nak. Sebagai wanita memang kita dituntut untuk serba bisa. Memiliki keterampilan menjahit salah satunya. Bukan, bukan hanya menjahit kancing bajumu yang lepas saat bermain. Bukan hanya menjahit sarung Bapakmu agar tak bolong lagi.
Lebih dari itu. Kita juga harus pandai menjahit mulut sendiri, agar tak terlalu lebar dalam mengomel dan membicarakan hal-hal yang tak penting. Termasuk membuka aib keluarga dan tetangga.
Kita harus pandai menjahit pikiran ini, agar tidak dikuasai oleh prasangka dan rasa yang mendatangkan lara.
Kita harus bisa menjahit luka hati, agar tidak terus menganga dan semakin lebar. Demi menjalani kehidupan yang lebih nyaman.
Kulihat wajah mungilnya sekali lagi, sebelum mengemas peralatan menjahit yang berserakan di lantai. Dia pun manggut-manggut sambil tersenyum seolah mengerti.
Posting Komentar
Posting Komentar