Anak-anak asyik dengan gawainya |
Sore ini merupakan kunjungan kedua kami ke perpustakaan. Alhamdulillah, Jumat sore kini menjadi waktu yang sangat berharga bagi Ibu dan Kiya. Kami mulai berikhtiar merutinkan diri ke perpustakaan.
Seperti hari biasanya, ia begitu semringah menaiki tangga satu per satu, karena surga buku itu ada di lantai 2. Begitu masuk ruangan, Mak nyess lihat banyak anak usia SD di sana. Apalagi anak laki-laki. Sepertinya mereka juga baru datang, karena belum ada aktivitas membaca yang dilakukan. Disusul kemudian oleh kehadiran beberapa anak putri yang menenteng lembaran HVS dan alat tulis. Bagi pecinta buku macam kami, melihat anak antusias dengan buku tentu menjadi cas semangat tersendiri.
Setelah mencari tempat duduk, Kiya mulai memilih-milih buku yang akan dibaca. Dibacakan ibu sih lebih tepatnya. Tak lama berselang, secara bersamaan anak-anak lelaki itu mulai mengeluarkan gawai dari saku celana dan tas yang dibawa. Sementara anak putri asyik mengerjakan tugas kelompok yang menjadi beban pribadi.
Awalnya Ibu dan Kiya masih bisa membaca, tapi lama-lama kegaduhan mereka sungguh membuat rasa sesak menyeruak dalam relung dada. Di perpustakaan, tempat yang seharusnya nyaman untuk balita-balita asyik masyuk bercengkrama dengan gambar-gambar lucu dalam buku, mereka malah sibuk menertawakan entah apa yang muncul dalam YouTube yang ditontonnya.
Ketika ada anak putri yang menegur supaya memelankan suara justru wajah menantang yang keluar dari jiwa anak-anak yang dewasa sebelum waktunya.
Apakah peristiwa ini menjadi yang pertama? TIDAK. Pada kunjungan pertama, Minggu sebelumnya pun kami menemui hal yang serupa tapi tak sama. Dengan pelaku yang berbeda, tetapi usia juga masih belia. Dari seragamnya pun jelas kalau menunjukkan anak Sekolah Dasar juga. Lelaki bertubuh mungil, dengan kacamata tebal. Selama di ruang perpustakaan, tak satu pun buku di sentuh. Ia asyik duduk di pojokan, main game sambil komunikasi dengan orang lain di seberang melalui jaringan. Berisik, sangat mengganggu, tapi lagi-lagi ketika diingatkan ia tak lagi peduli. Seolah dunia miliknya sendiri.
Miris, sungguh hati ini teriris. Bagaimana bisa anak-anak seusia itu sudah diberi kebebasan membawa android ke mana-mana, mengakses segala informasi tanpa pendampingan orang tuanya?
Entah apa dalih orang tua mereka jika ditanya, barangkali sebagai alat komunikasi, media untuk mencari jawaban dari tugas sekolah, atau jawaban lain yang sebenarnya bisa diakali dengan cara yang lebih bijak dan lebih tepat?
Ya Robbi, sungguh, tak perlu kuceritakan bagaimana sikap mereka secara gamblang, jika Emak pernah melihat sinetron dengan lakon anak sekolah tapi miskin tata Krama terhadap orang tua, begitulah yang terekam oleh panca indera ini selama satu jam satu ruangan dengan mereka.
Ya Robbi, jika kelak anak-anak itu semakin tidak beradab, ketergantungan terhadap gawai, dan abai dengan lingkungan sekitarnya, jangan salahkan mereka Mak. Mari tanya pada diri kita sendiri, fasilitas dan contoh apa yang sudah kita beri?
Adab sebelum ilmu. Ilmu bisa mereka pelajari, bahkan saat usia tak muda lagi. Namun, adab dan kebiasaan baik bukan sifat alami yang bisa didapat semudah menghentakkan jari. Semua butuh pembiasaan sejak dini. Sampai kapan kita akan abai akan hal penting seperti ini?
Perpusda Kab. Semarang, 4 Oktober 2019
–Ibu Kiya
#coretanIbuKiya
#menulissebagaipengingatdiri
#perenungandiri
Aaahhh,, tulisannya bagus sekali ibu kiya..memang seharusnya anak2 didekatkan pada buku2 bermanfaat drpd diberi fasilitas gawai
BalasHapusItu kenapa aku masih belum memberi izin si kakak yang sudah kelas 1 SMP untuk memegang gawai sendiri, bahkan Tablet dan Laptop rusak pun sengaja aku biarkan. Bukan apa, karena sekarang sudah yang menyalah gunakan benda2 tersebut.
BalasHapus